Oleh : Jeffri AM Simanjuntak, SH., M.H.
04 November 2021
Jakarta, CatatanHukum.com: Maraknya gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan Kepailitan di pengadilan niaga medio tahun 2020 sampai 2021 ini dirasa sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang dihimpun dari lima pengadilan niaga di Indonesia (Pengadilan Niaga Jakarta, Pengadilan Niaga Semarang, Pengadilan Niaga Surabaya, Pengadilan Niaga Medan dan Pengadilan Niaga Makassar), terdapat 1.298 proses pengajuan PKPU dan kepailitan sepanjang tahun 2020-Agustus 2021. Padahal, pada periode 2018-2019, lima pengadilan tersebut hanya memproses kasus PKPU dan kepailitan sebanyak 959 kasus.


Pengusaha yang tergabung dalam APINDO melihat PKPU dan Kepailitan bukan untuk “menyehatkan” malah dianggap penyebab banyaknya perusahaan yang pailit. Kekhawatiran ini semakin menjadi tidak hanya karena jumlah ribuan permohonan di Pengadilan Niaga, alasan lain dapat mempengaruhi ekonomi nasional yang menyebabkan dampak kondisi “kedaruratan nasional”. Kedaruratan Nasional ini merujuk pada kondisi akibat pandemic Covid 19.


TUNTUTAN APINDO DALAM MORATORIUM TERHADAP PKPU DAN KEPAILITAN
APINDO telah meminta kepada pemerintah secara langsung supaya ada Moratorium terhadap PKPU dan KEPAILITAN. Mereka mendesak agar ada peraturan melindungi pengusaha dalam menjalankan usahanya tanpa ada rasa khawatir terhadap permohonan PKPU dan KEPAILITAN. Hal ini telah ditepis oleh AKPI (Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonseia) bahwa secara filosofi dibuatnya mekanisme PKPU dan Kepailitan adalah jalan tengah antara kepentingan Kreditur (dapat perorangan, perusahaan, Bank, maupun pemerintah) dengan Debiturnya.

MORATORIUM UTANG

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undnag-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor (Pasal 1 ayat 6 Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU).

Moratorium Utang paling tepat saat ini adalah dengan mekanisme Kepailitan dan PKPU, dengan melihat itikad baik Debitor, maka kreditor dapat memperkirakan Debitornya mampu membayar keawajibannya dengan melakukan penundaaan / moratorium terhadap utangnya yang dituangkan dalam rencana perdamaian.

Definsi Moratorium menurut Black Law Dictionary: “Delay in performing an obligation or taking an action legally authorized or simply agreed to be temporary.”

Dengan arti luasnya, moratorium merupakan penundaan atas kewajiban dengan persetujuan dengan waktu sementara.


Oleh karena itu, moratorium utang yang dikenal saat ini sebagai mekanisme yang sah adalah Kepailitan dan PKPU dengan menjunjung penyelesaian masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Sehingga peranan Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sudah tepat (disamping masih banyaknya kekurangan dan kelemahan). Kalaupun ingin diperkuat dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden dengan menekankan hal teknis agar moratorium dengan Kepailitan dan PKPU dapat menjadi alternatif solusi utang piutang.

Selain penerbitan peraturan teknis atas undang-undang Kepailitan dan PKPU, pemerintah pun mendorong mekanisme Kepailitan dan PKPU dijadikan sebagai pendorong kepastian hukum dalam iklim berusaha di Indonesia. Ketika Investor menanamkan uangnya di Indonesia merasa aman dan terlindungi dari para Debitur yang nakal dan tidak bertanggung jawab.

Mempertegas syarat permohonan Kepailitan dan PKPU dengan penguatan Lembaga Pengadilan Niaga. Hakim niaga harus memiliki kemampuan dalam membaca neraca keuangan serta berkemampuan untuk menimbang Debitor memiliki kemampuan ataupun tidak dalam menyelesaikan utangnya, atau kepekaan terhadap permohonan yang hanya bertujuan untuk menakut-nakuti saja.

Sikap Pemerintah mendorong Moratorium
Pemerintah diminta hati-hati dalam menyikapi permintaan APINDO, selain mendengar dari satu pihak, pemerintah harus mendengar stakeholder lain yang bersentuhan dengan Kepailitan dan PKPU, misalnya Bank, OJK, Lembaga Keuangan lainnya, Lembaga atau Mayarakata Konsumen dan masukan dari Lembaga Keuangan Internasional seperti World Bank atau IMF.

Melihat sejarah pembentukan Undang-undangan Kepailitan dan PKPU tak lepas dari peristiwa Krisis Moneter yang menimpa Indonesia dan beberapa negara Asia. Mekanisme Kepailitan dan PKPU ternyata efektif untuk menjaga kestabilan ekonomi terkait kepastian hukum hak Kreditor dan Hak Debitor. Sehingga Indonesia mampu keluar dari resisi ekonomi dengan cepat.

Keseimbangan yang dibuat pemerintah tak hanya dibuat dari regulasi saja, namun harus berperan aktif untuk menjaga kestabilan ekonomi dan hukum. Mengingat mekanisme Kepailitan dan PKPU juga digunakan oleh Pemerintah seperti Balai Harta Peninggalan di Kementerian Hukum dan HAM. Memperkuat BHP juga dipandang perlu untuk mendukung perkembangan jaman, dan BHP dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai perwakilan pemerintah dalam pemberesan harta pailit milik perusahaan Negara.

Moratorium utang dianggap perlu disetujui, untuk menghindari perebutan harta Debitor yang berpotensi adanya eksekusi sendiri dengan melawan hukum. Menghindari kesewenangan Kreditor yang memiliki jaminan tanpa memperhatikan kepentingan Debitor dan Kreditor lainnya. Serta menghindari Debitor atau Kreditor yang melakukan upaya curang/nakal dengan memberikan keuntungan sepihak saja.
Mepertimbangkan keinginan Masyarakat, dan sikap pemerintah maka mekanisme Kepailitan dan PKPU adalah jawaban atas Moratorium Utang. Bukan melakukan Moratorium terhadap KEpailitan dan PKPU, justru membuka selebar-lebarnya supaya ada pengawasan dan filter bagi Debitor untuk bertanggung jawab dan menghargai suatu perjanjian.

Penulis: Advokat dan Praktisi Hukum Kepailitan & PKPU di Jakarta.


Teras Informasi_______



Image

UU No. 2 Tahun 2011

Image

SERI Undang-undang PKPU & Kepailitan



Garis Kata_______


"Pelecehan yudisial terjadi ketika hakim mengganti pandangan politik mereka untuk penerapan hukum"
Judicial abuse occurs when Judges substitute their own political views for the law". (Lamar S. Smith)

  Source : www.brainyquote.com [001]