
Jakarta, CatatanHukum.com: Mahkamah Konstitusi RI kini menjadi sorotan setelah diketahui telah terjadi perbedaan pencantuman "kalimat" atas pengucapan putusan yang diucapkan dimuka persidangan terbuka dengan Salinan Putusan yang ditampilkan dalam bentuk pdf pada laman www.mkri.id.
Perbedaan "kalimat" sebagaimana dalam rekaman audio pada saat pengucapan putusan tidak sama dengan Risalah Sidang Putusan yang telah dibacakan, begitupula pada Salinan Putusan perkara gugatan uji materiil No. 103/PUU-XX/2022 tanggal 23 November 2022.
Perbedaan ini menjadi multi tafsir dengan beragam asumsi di masyarakat, ada yang menafsirkan sebagai kesalahan ketik "typo" ada juga yang menjurus pada dugaan telah terjadi kesengajaan yang nantinya dapat menimbulkan pengartian yang berbeda. Terlebih putusan tersebut (gugatan perkara uji materiil Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) berkaitan dengan pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto yang dilakukan oleh DPR.
CatatanHukum.com melakukan penelusuran pada Jumat (27/1/2023) di website Mahkamah Konstitusi dan mendapatkan salinan putusan berikut dengan rekaman pengucapan sidang putusan dimaksud. Gugatan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon bernama lengkap Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. ini berkaitan dengan pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dan digantikan Guntur Hamzah yang saat itu merupakan Sekjen MK.
Dari penelusuran tersebut dengan mempersandingkan antara rekaman pengucapan sidang putusan pada durasi ke 1:05:55 dari 1:21:54 dengan Salinan Putusan dan Risalah Sidang, memang terdapat perbedaan antara pengucapan putusan dan penulisan kalimat pada putusannya, yaitu ditemukan pengubahan kalimat pada halaman 51 dengan mengubahnya dari kalimat ".. dengan demikian .." menjadi ".. ke depannya ..". https://www.mkri.id

Mahkamah Konstitusi (MK) diduga mengubah substansi putusan uji materi perkara nomor 103/PUU-XX/2022. Sebab, kalimat pada petikan putusan yang dibacakan hakim di ruang sidang berbeda dengan yang ada di salinan putusan.
.jpg)
Pengucapan putusan pada sidang 23 November 2022 oleh hakim Saldi Isra:
" .. Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus ... dan seterusnya".
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di website MA:
" .. Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus ... dan seterusnya".
Pada penelusuran yang dilakukan catatanhukum.com pada laman MKRI, sebenarnya telah tertera kutipan dari asas atas keberlakuan dari Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu: "Sidang Pengucapan Putusan merupakan tahap akhir dalam proses persidangan di MK. Sidang Pengucapan Putusan dilaksanakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri paling sedikit 7 (tujuh) orang Hakim dan para pihak. Putusan MK, mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka. Putusan yang telah diucapkan dalam Sidang Pleno diunggah pada laman MK (www.mkri.id) dan dapat diakses oleh masyarakat".

Hal demikian dapat diartikan bahwa terhadap pengucapan putusan dalam sidang terbuka tersebut dapat dijadikan sebagai dasar berlakunya suatu putusan.
Prinsip pemeriksaan dan putusan diucapkan secara terbuka, ditegaskan dalam Pasal 13 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Tafsir Pasal 10 UU MK, ditegaskan terhadap klausul mengikat, yang menjelaskan: “Sifat akhir dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini juga termasuk efek hukum yang mengikat (final dan mengikat). “Hal ini juga diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ... “.Artinya bahwa putusan MK tidak hanya mengikat para pihak yang terlibat dalam proses pengadilan, tetapi juga mengikat semua pihak (berlaku umum).
Terkait sifat mengikat tersebut, untuk menjaga Prinsip peradilan terbuka secara umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan (merupakan bagian dari asas fair trial atau disebut the open Justice principle) dan untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan maka diperlukan suatu tindakan pemeriksaan etik apabila terjadi suatu pelanggaran.
Untuk menjaga "marwah" Mahkmah Konstitusi, MK menyerahkan ke Dewan Etik dengan membentuk Majelis Kehormatan MK (MKMK). "Kami telah menyepakati bahwa penyelesaian mengenai bagaimana kronologinya atau kebenaran atas isu yang berkembang tidak dilakukan oleh kami sendiri sebagai hakim, tetapi akan diselesaikan melalui Mahkamah Kehormatan MK, yaitu MKMK," ungkap Enny Nurbaningsih dalam konferensi pers di MK, Senin (30/1).
RISALAH SIDANG Perkara No. 95, 97, 101, 102, 103/PUU-XX/2022:

.jpg)