tafsir
catatanhukum.com: Siaran pers Penghentian Penuntutan

Jakarta, CatatanHukum.com: Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 11 permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice).

Demikian kutipan siaran pers yang disalin dan diteruskan oleh catatanhukum.com dari laman website: Kejaksaan Agung RI pada hari Senin 06 Februari 2023 (https://www.kejaksaan.go.id/berita/s/jaksa-agung-muda-tindak-pidana-umum-menyetujui-11-pengajuan-rest-3c014).

Dalam isi siaran pers tersebut, diperintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Adapun perkara yang dihentikan antara lain untuk atas nama :

  1. Tersangka SAFRIAL AKBAR alias AKBAR bin T. SAMIN BASARA dari Kejaksaan Negeri Lhokseumawe yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan;
  2. Tersangka RISKA YULITA binti SABRA dari Kejaksaan Negeri Aceh Singkil yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  3. Tersangka IRDA YANTI binti (Alm) DIWAN NAHYA darI Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya yang disangka melanggar Pasal 76 huruf (c) jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  4. Tersangka I EKA JUANDA bin (Alm) HASAN SYARIF, Tersangka II HASMI DARMAN bin (Alm) HASAN SYARIF, dan Tersangka III JAFAR HAITAMI bin (Alm) HASAN SYARIF dari Kejaksaan Negeri Aceh Barat Daya yang disangka melanggar Pasal 406 Ayat (1) jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang Pengrusakan;
  5. Tersangka JUMAIT DALANGI alias NAIT dari Kejaksaan Negeri Banggai yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencuria;
  6. Tersangka ISWANDI alias WAWAN dari Kejaksaan Negeri Banggai yang disangka melanggar Primair Pasal 44 Ayat (1) Subsidair Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
  7. Tersangka ENDI anak laki-laki dari FAM MUK CHIAN dari Kejaksaan Negeri Ketapang yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan;
  8. Tersangka VIVI NUR ASTRIA NINGSIH alias NOVI binti NURYADIN dari Kejaksaan Negeri Konawe Selatan yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
  9. Tersangka NARDIN bin SAMSUDDIN dari Kejaksaan Negeri Buton yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan;
  10. Tersangka HERI SUPRIJANTO bin AHMAD ROJIKIN dari Kejaksaan Negeri Balikpapan yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (2) dan (1) KUHP tentang Penganiayaan;
  11. Tersangka ARLIANSYAH SAPUTRA alias PUTRA bin AMAN dari Kejaksaan Negeri Penajam Paser Utara yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

  1. Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, Tersangka belum pernah dihukum;
  2. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
  3. Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  4. Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
  5. Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
  6. Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
  7. Pertimbangan sosiologis;
  8. Masyarakat merespon positif.

Terkait dengan Keadilan Restoratif ini, pada tahun 2012 keempat pilar lembaga hukum pemerintah membuat sebuah kesepakatan bersama yakni Nota Kesepakatan Bersama yaitu Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMS/SKB/X/2012, Nomor M-HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice).


Image

Image

Keadilan Restoratif (restorative justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana ringan yang dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan atau hakim sejak awal persidangan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.”

(Pasal 1 ayat (2)
cttn

Nota Kesepakatan Bersama ini memang membatasi pemberlakuan keadilan restorative (restorative justice) yaitu hanya terhadap tindak pidana ringan saja. Namun dalam perkembangannya, tidak hanya tindak pidana ringan saja yang bisa diselesaikan dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) ini.

cttn

Dari hasil Nota Kesepakatan Bersama tersebut , Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia membuat peraturan lebih lanjut untuk masing-masing institusi sebagai pedoman penyelesaian perkara pidana dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice), antara lain:

  1. Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana (“SE Kapolri 8/2018”);
  2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”);
  3. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perkejaksaan 15/2020”);

Peraturan yang dibuat oleh setiap institusi yang pada intinya mengatur bagaimana prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dapat diaplikasikan dalam penyelesaian perkara pidana di setiap tingkatan proses penegakan hukum pidana sejak tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, dan juga pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.